Langkah Menyederhanakan Hati (Bag. 1)
Makin hari, perputaran dunia ini rasanya terlalu cepat. Semua orang seolah saling membalap, seakan terburu-buru memenuhi tuntutan zaman yang sangat cepat berubah nan dipenuhi ketidakpastian. Alhasil, hanya tubuh kita yang berada di masa kini, sedangkan hati dan pikiran kita ada di mana-mana.
Kita tidak benar-benar menyadari, apalagi menikmati aktivitas yang sedang dilalui. Boleh jadi, di saat yang sama pikiran kita disandera oleh penyesalan masa lalu, atau dipenuhi kecemasan akan masa depan baik mengenai nasib diri, keluarga, hingga prediksi standar sosial dan ekonomi beberapa tahun ke depan.
Hidup kita rasanya berjalan autopilot, bergerak sendiri tanpa ada yang mengemudi. Kita jalani hidup ini tanpa kesadaran penuh, hingga kosong dari pemaknaan. Alhasil, sangat lumrah jika akhirnya ada yang merasa lelah fisik maupun jiwa karena menjalani rutinitas seperti ini. Beberapa langkah yang dapat menjadi jalan keluar dalam mengatasi dampak negatif hidup autopilot akan dibahas dalam catatan ini, tentunya dari sudut pandang tuntunan Ilahi.
Menata hati, menata hidup
Secara ringkas, menyederhanakan hidup telah menjadi jurus yang marak digandrungi untuk menghindari dampak negatif hidup autopilot. Tidak hanya menyederhanakan barang dan konsumsi, namun juga menyederhanakan hati, karena menata hati = menata hidup. Banyak yang akhirnya merasa perlu menyederhanakan hati karena ia terbatas. Bagai bejana, hati adalah wadah yang tak bisa menampung semua masalah dan urusan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ آنِيَةً مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ ، وَآنِيَةُ رَبِّكُمْ قُلُوبُ عِبَادِهِ الصَّالِحِينَ , وَأَحَبُّهَا إِلَيْهِ أَلْيَنُهَا وَأَرَقُّهَا
“Sesungguhnya Allah mempunyai bejana-bejana di atas muka bumi, dan bejana-bejana Tuhan kalian adalah hati-hati hamba-hamba-Nya yang saleh, dan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling halus dan yang paling lembut.” [1]
Cobalah luangkan waktu sebentar saja, sekedar untuk mengobrol dengan diri sendiri. Tak ada yang boleh mendengarnya, kecuali Allah. Karena Allah mencintai hamba-Nya yang berkenan untuk mencintai dirinya sendiri dengan bermuhasabah. Mari merenung, apa kiranya penyebab riuhnya pikiran kita akhir-akhir ini?
Baca juga: Potret Kesederhanaan Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam
Bahagia dengan menerima, mungkinkah?
Boleh jadi, salah satu (bukan satu-satunya) sebab tidak tenangnya hati dan pikiran kita selama ini berkaitan dengan cara kita mengatur ekspektasi. Lingkungan mendorong kita untuk meraih capaian tinggi. Alhasil, kita memasang standar maksimal, tapi tidak menentukan batas minimal. Benar bahwa bercita-cita tinggi itu terpuji, namun sering kali kita lupa menyiapkan hati kalau-kalau cita-cita itu tidak terpenuhi. Sejak saat itu, kita mulai lelah dan kalah, diperbudak oleh ekspektasi diri sendiri. Kita lupa kapan terakhir kali menikmati hari-hari yang sedang dijalani, karena terus memandang ke arah angan yang entah kapan dapat benar-benar kita rasakan.
Melihat hal ini, terlihatlah pentingnya peran qana’ah. Imam Suyuthi rahimahullah memaknai qana’ah dengan sebuah ungkapan yang indah,
ترك التشوف إلى المفقود، والاستغناء بالموجود
“Meninggalkan hasrat pada hal yang tiada, dan merasa cukup dengan yang ada.” [2]
Qana’ah dapat membantu kita untuk menyederhanakan hati dalam menilai arti kebahagiaan. Mari kita tilik sejenak bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia paling bijak sepanjang sejarah, dalam menilai standar kebahagiaan. Beliau bersabda,
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya, diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” [3]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyadarkan bahwa ternyata kita bisa bahagia dengan hal-hal yang sering kali dianggap kecil lagi sepele. Ternyata tidak selalu perlu capaian yang muluk-muluk untuk bisa berbahagia. Dengan qana’ah, kita dapat kembali menikmati masa kini yang selama ini terabaikan karena sibuknya pikiran membuntuti ekspektasi yang tak terkejar.
Perlu dipahami bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan standar minimal untuk bisa berbahagia, bukan melarang kita untuk mencari yang lebih dari tiga hal di atas. Untuk merasa cukup, kita tidak selalu harus menolak yang lebih. Justru dengan merasa cukup, kita akan merasa lebih bahagia ketika mendapat yang lebih. Anggaplah kita merasa cukup saat mendapat 5000, bukankah kita akan sangat bahagia tatkala mendapat 5 juta? Beda halnya jika sejak awal sangat mengidamkan 500 juta, mungkin tidak akan terlalu bahagia ketika mendapat 50 juta.
Demikian sederhana konsep qana’ah, namun selalu saja ada yang salah paham menyangka bahwa qana’ah itu seolah racun yang menyebabkan kemalasan dalam meningkatkan taraf hidup. Mari kita ulas sejenak wasiat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu kepada buah hatinya,
يا بني، إذا طلبت الغنى فاطلبه بالقناعة؛ فإنها مال لا ينفذ
“Nak, jika engkau mencari harta, carilah dengan qana’ah, karena qana’ah itu adalah harta yang tak dapat ditebus (dengan apa pun).” [4]
Beliau sebut qana’ah itu tidak dapat ditebus, karena tak akan ada yang mampu membeli isi hati yang bersih, beda halnya dengan kekuasaan atau saham mayoritas. Wasiat ini memahamkan bahwa ketika kita memilih untuk qana’ah, bukan berarti kita sedang mengikrarkan penolakan terhadap kekayaan dan kemakmuran. Qana’ah tidaklah menghalangi semangat mencari penghidupan. Inilah esensi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب
“Sesungguhnya yang namanya kaya adalah kayanya hati (yang qana’ah). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (yang tak pernah puas).” [5] Sebabnya itu ada di hati yang dipenuhi kelapangan, baik kala ia fakir maupun saat hidup berada.
Bukannya melarang kaya, tapi mengajak untuk menjadi kaya dengan hati yang layak nan pantas untuk menerima kekayaan. Tidak seperti sebagian orang kaya (harta) yang mengorbankan waktu, kesehatan, bahkan agamanya karena terus menginginkan yang lebih, lebih, dan lebih! Demikianlah potret ia yang “terlihat” kaya, namun fakir tulen pada hakikatnya. Na’udzubillahi min dzalik. Semoga Allah karuniakan kepada kita hati yang sederhana dengan qana’ah di dalam relungnya.
Catatan ini barulah awal, masih ada sebab-sebab “hidup autopilot” yang lainnya. Sampai jumpa di catatan berikutnya.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحبِهِ وَسَلَّمَ، وَآخِرُ دَعوَانَا أَن الحَمدُ للهِ رَبِّ العَالَمِينَ
Baca juga: Kondisi Hati yang Dihuni oleh Tauhid
***
Penulis: Reza Mahendra
Artikel asli: https://muslim.or.id/93862-langkah-menyederhanakan-hati-bag-1.html